Sebuah pembelajaran yang mungkin kita bisa ambil sebagai pembelajaran....
Mengeluh dan mengeluh. Hal itulah yang saya lakukan ketika bapak meminta saya untuk membantu ibu mencuci piring. Hingga akhirnya bapak berkata.
“kalau disuruh kerja itu yang seneng caranya, pasti ndak terasa kerjaannya. Anggap saja kaya’ makan bakso trus minum es, pasti seneng kan kamu!”
Kemudian saya menyahut. “itu perumpamaannya salah. Kalo makan bakso sama minum es emang enak. Tapi kalo ini jelas-jelas ndak enak! Kalo ini tu kaya dikasi kue kemaren sama nenek. Walaupun kita gak suka, tapi kita gak enak buat nolak!”
Bapak pun menjawab, “ coba kamu belajar hidup dari pohon pisang. Pohon pisang itu ndak akan mati sebelum bisa berbuah. Walopun berbuah cuma sekali, tapi pas berbuah, buahnya banyak, enak, dan bikin orang yang makan tu seneng. Nah, kamu juga harus gitu. Selama masih hidup, kamu harus terus kerja dan kerja, biar bisa menghasilkan sesuatu yang bikin orang-orang di sekitar kamu seneng!” Setelah bapak menyampaikan nasihatnya, saya hanya bisa terdiam, sambil menggosok piring-piring yang kotor dan berlemak.
Benar juga apa kata bapak. Hanya disuruh bantu ibu mencuci piring saja saya sudah mengeluh. Mana wujud rasa terima kasih saya terhadap orang yang telah mengandung saya selama 9 bulan? Yang merawat saya dari kecil hingga sebesar ini? Apakah dia pernah mengeluh? Sedikitpun tidak!
Mengapa saya tidak bisa seperti perempuan-perempuan lainnya yang akan dengan senang hati membantu ibunya?
Setelah merenung, dan sekarang sambil mambilas piring yang sudah diberi sabun, saya bertekad untuk menjadi seperti pohon pisang itu. Pohon pisang yang semasa hidupnya terus bekerja untuk mencapai suatu hasil yang dapat dinikmati oleh orang lain, dan membuat orang tersebut senang, terutama orang yang sudah mengandung saya selama 9 bulan. Yaitu Ibu.
Mengeluh dan mengeluh. Hal itulah yang saya lakukan ketika bapak meminta saya untuk membantu ibu mencuci piring. Hingga akhirnya bapak berkata.
“kalau disuruh kerja itu yang seneng caranya, pasti ndak terasa kerjaannya. Anggap saja kaya’ makan bakso trus minum es, pasti seneng kan kamu!”
Kemudian saya menyahut. “itu perumpamaannya salah. Kalo makan bakso sama minum es emang enak. Tapi kalo ini jelas-jelas ndak enak! Kalo ini tu kaya dikasi kue kemaren sama nenek. Walaupun kita gak suka, tapi kita gak enak buat nolak!”
Bapak pun menjawab, “ coba kamu belajar hidup dari pohon pisang. Pohon pisang itu ndak akan mati sebelum bisa berbuah. Walopun berbuah cuma sekali, tapi pas berbuah, buahnya banyak, enak, dan bikin orang yang makan tu seneng. Nah, kamu juga harus gitu. Selama masih hidup, kamu harus terus kerja dan kerja, biar bisa menghasilkan sesuatu yang bikin orang-orang di sekitar kamu seneng!” Setelah bapak menyampaikan nasihatnya, saya hanya bisa terdiam, sambil menggosok piring-piring yang kotor dan berlemak.
Benar juga apa kata bapak. Hanya disuruh bantu ibu mencuci piring saja saya sudah mengeluh. Mana wujud rasa terima kasih saya terhadap orang yang telah mengandung saya selama 9 bulan? Yang merawat saya dari kecil hingga sebesar ini? Apakah dia pernah mengeluh? Sedikitpun tidak!
Mengapa saya tidak bisa seperti perempuan-perempuan lainnya yang akan dengan senang hati membantu ibunya?
Setelah merenung, dan sekarang sambil mambilas piring yang sudah diberi sabun, saya bertekad untuk menjadi seperti pohon pisang itu. Pohon pisang yang semasa hidupnya terus bekerja untuk mencapai suatu hasil yang dapat dinikmati oleh orang lain, dan membuat orang tersebut senang, terutama orang yang sudah mengandung saya selama 9 bulan. Yaitu Ibu.
Saya
tahu Anda mengenal buah pisang. Tapi tahukah Anda tentang keajaiban pohon pisang? Kalau Anda belum mengetahuinya, maka tulisan ini tepat
sekali untuk Anda renungkan.
Pertama-tama saya akan meminta Anda untuk
melakukan sebuah percobaan. Begini, kalau nanti Anda mendapatkan hari
libur, pergilah ke daerah pedesaan. Temui seorang petani yang menanam
pohon pisang. Kemudian, mintalah kepada petani itu, untuk menunjukkan;
apa yang terjadi ketika pohon pisangnya yang belum berbuah dia tebang
dengan parang yang tajam hingga tumbang. Jangan menolak kalau petani itu
mempersilakan Anda sendiri untuk mengayunkan parang tajamnya. Lakukan
saja. Dan lihatlah apa yang terjadi.
Percobaan ini belum selesai. Dua atau
tiga minggu kemudian, cobalah luangkan waktu Anda untuk kembali lagi ke
ladang pisang itu, dan tengoklah pohon pisang yang Anda tebas itu. Saya
menjamin, Anda akan takjub menyaksikan pemandangan dihadapan Anda.
Ternyata, pohon pisang yang Anda tebang beberapa minggu yang lalu itu,
kini telah tumbuh lagi hingga tingginya lebih dari limabelas senti
meter! Bagaimana mungkin? Bukankah Anda sudah memenggal batangnya hingga
tuntas hanya dalam sekali tebas? Lantas, mengapa pohoh pisang itu
kembali berdiri tegak persis di hadapan Anda hanya beberapa hari setelah
Anda memenggal batangnya? Apakah Anda sedang berhadapan dengan hantu si
pohon pisang?
Begitulah cara para leluhur kita mempelajari tentang keteguhan hati dan semangat pantang menyerah.
Melalui fenomena-fenomena mengagumkan di tengah-tengah budaya agraris,
mereka pada akhirnya menemukan keteguhan hati dengan berkaca kepada FALSAFAH HIDUP SEBATANG POHON PISANG. Dan begitulah pula mereka mengajarkannya kepada anak cucu, generasi penerusnya.
Mungkin Anda bertanya-tanya: Apakah
pelajaran itu masih relevan dengan kehidupan modern di tengah perkotaan
yang penuh dengan hiruk pikuk ini? Saya akan menjawab pertanyaan Anda
dengan terlebih dahulu mengajukan beberapa pertanyaan: Apa yang
terjadi ketika Anda menghadapi cobaan? Anda menyerah? Apa yang terjadi
ketika kesulitan menghadang Anda? Anda berhenti? Apa yang terjadi ketika
kegagalan demi kegagalan Anda alami? Anda frustrasi? Apa yang terjadi
ketika Anda terkena PHK, misalnya? Apakah Anda berputus asa?
Pohon pisang tidak memilih untuk bersikap
bagai pecundang seperti itu. Seperti yang sudah Anda temukan sendiri
melalui percobaan sederhana tadi, si pohon pisang yang belum berbuah
itu, tidak akan pernah berhenti hanya karena Anda menebas batangnya
hingga bergelimpangan di atas tanah! Kalau Anda masih tidak yakin
tentang itu, ambil kembali parang Anda!
Lalu carilah pohon pisang yang belum
berbuah, dan hunjamkan parang Anda itu kepadanya! Meskipun parang Anda
menyebabkan pohon pisang yang belum berbuah itu tumbang, Anda tidak
pernah berhasil mematikannya. Dia akan tumbuh kembali dengan batang
pohonnya yang pulih seperti sediakala.
Sekarang, pergilah ke ladang petani itu,
sekali lagi. Mintalah kepadanya untuk diajari, mengapa pohon pisang yang
belum berbuah tidak bisa dimatikan dengan cara menebangnya menggunakan
sebilah parang yang tajam, meski parang itu menumbangkannya hingga
berkali-kali.
Saya tidak heran jika petani yang Anda
datangi itu mengajarkan kepada Anda tidak dengan kata-kata. Melainkan
dengan sebilah parang juga! Kalau Anda dimintanya untuk memilih pohon
pisang yang sedang berbuah, maka pilihlah pohon pisang yang sudah
berbuah dan siap untuk dipanen. Dan ketika Pak Tani meminta Anda untuk
menebangnya, maka Anda tidak perlu ragu untuk mengayunkan parang Anda
kepada batang pohon pisang yang sudah berbuah itu. Ayo, jangan
ragu-ragu. Tumbangkan pohon pisang itu dengan parang tajam di tangan
Anda. Karena Anda hanya akan berhasil membuka tabir falsafahnya dengan
menebang pohon pisang itu. Jadi, lakukan saja.
Kalau Anda sudah melakukannya, petani itu
akan meminta Anda untuk datang kembali ke kebun pisangnya tujuh hari
lagi. Jangan menolak permintaannya. Datanglah tujuh hari lagi ke ladang
perkebunan pisang petani itu. Sungguh, datanglah. Lalu, lihatlah pohon
pisang yang Anda tebang itu, sekali lagi. Pohon pisang itu mati, bukan?
Sisa pohon yang Anda tebang itu kini sudah membusuk dengan warna
kecoklatan dan melembek menyerupai tanah. Dan akar pangkal pokok
hidupnya? Juga mati. Mereka menyerahkan diri kepada bumi.
Berhasilkah Anda menemukan rahasia pohon
pisang itu? Mengapa pohon pisang yang belum berbuah akan tumbuh lagi,
dan tumbuh lagi. Dan terus tumbuh lagi tidak peduli berapa kalipun Anda
menebangnya hingga dia tumbang? Sebaliknya, mengapa pohon pisang yang
sudah berbuah akan mati setelah Anda menebang batangnya sekali saja?
Mengapa? Tahukah Anda rahasianya? Ini adalah rahasia tentang sebuah KETEGUHAN HATI.
Sekarang Anda tahu, mengapa petani itu
tidak menjelaskan dengan kata-kata. Sebab, bahasa seringkali membatasi
makna dari sebuah peristiwa. Keterbatasan bahasa itu menyebabkan kita
tidak dapat mencerna secara utuh, pesan apa yang ingin disampaikan oleh
alam kepada kita. Juga tentang pesan yang dibawa sang pohon pisang
melalui misteri kematiannya yang sangat indah. Tetapi, saya sangat
meyakini kalau Anda pada akhirnya akan sampai kepada sebuah kesimpulan
bahwa; pohon pisang tidak akan pernah mau dimatikan HINGGA DIA BERBUAH!
Kalau engkau menebang
pisang sebelum berbuah, maka dia tidak akan pernah menyerah. Dia akan
tumbuh lagi. Karena ’Sampai berbuah’ adalah falsafah hidupnya.
Jadi, ”Jangan Pernah Berhenti, Sebelum Engkau Berbuah”
Hingga dia berbuah. Itulah
falsafah hidup sebatang pohon pisang. Mungkin Anda bertanya-tanya;
keteguhan hati untuk apa? Keteguhan hati untuk memastikan bahwa hidupnya
sampai kepada ‘menghasilkan buah’. Yaitu buah berupa manfaat bagi lingkungannya.
Sebab, ternyata, setelah pohon pisang itu berbuah, dia akan dengan
sukacita menyambut kematiannya. Sebagai pertanda bahwa tujuan hidupnya
telah dia tunaikan hingga lunas tuntas. Itulah alasan, mengapa sebatang
pohon pisang yang Anda tebang tadi pada akhirnya bersedia untuk menerima
kematiannya. Dan dia kembali berbaur dengan warna coklat dan gemburnya
tanah. Untuk menyatu kembali dengan bumi yang mengandungnya.
Jika kita refleksikan makna kata ‘berbuah’ sebagai simbol dari ‘tercapainya tujuan hidup’ yang tiada lain adalah apa yang kita sebut sebagai ‘hasil karya’, maka pohon pisang mewakili sebuah keteguhan hati untuk tetap berfokus kepada hasil dari sebuah karya.
Tentang karya apa yang ingin kita hasilkan semasa hidup. Tentang
sesuatu yang bisa dipersembahkan sebagai wujud kontribusi kita. Dan
karenanya, kita memutuskan untuk tetap hidup hingga berhasil mewujudkan sebuah ‘karya’. Sebagai
kontribusi kepada diri kita sendiri, juga kepada orang lain di sekitar
kita. Dan juga kepada dunia. Yang menjadi bukti bahwa kita, pernah ada.
Itulah pesan yang ingin disampaikan oleh
sebatang pohon pisang kepada para leluhur kita. Kemudian kepada Pak
Tani. Lalu kepada saya. Dan kemudiaan saat ini saya membaginya kepada
Anda, yang tentu saja akan Anda sampaikan kepada orang-orang lain,
hingga anak-anak dan cucu kita kelak.
Saya bertanya, “Apa yang menjadi tujuan hidup pohon pisang?”
Pak Tani berkata, “Tujuan hidup pohon pisang adalah untuk berbuah.”
Jadi, kalau engkau menebangnya sebelum
dia berbuah, maka pohon pisang tidak akan pernah menyerah. Dia akan
tumbuh lagi. Sampai dia berbuah, itulah falsafah kehidupan sebatang
pohon pisang. Dia tidak akan mati, sebelum berbuah…
“Mengapa pohon pisang ingin berbuah?”, Saya bertanya.
“Jawabannya akan engkau temukan jika engkau merenungkannya,” dan Pak Tani pun beranjak. Meninggalkan saya sendirian ditengah kebun pohon pisang.
Sementara itu, saya terus bertanya-tanya:
kalau pohon pisang memiliki semangat hidup yang begitu tinggi tanpa
kenal menyerah, mengapa saya tidak mencontohnya saja? Bagaimana dengan
Anda? Apakah pesan yang dibawakan oleh pohon-pohon pisang masih relevan
dengan kehidupan bisnis modern perkotaan yang saat ini sedang Anda
jalani?
“Tentu!” Bukankah itu jawaban
Anda? Jikalau begitu, ajak saya untuk berjalan bersama Anda. Dan mari
kita nasihatkan satu sama lain dan katakana, ”Jangan Pernah Berhenti, Sebelum Anda Berbuah”.
0 komentar:
Posting Komentar